Selasa, 12 Oktober 2010

FONOLOGI

Fonologi
Fonologi adalah ilmu tentang perbendaharaan fonem sebuah bahasa dan distribusinya. Hal-hal yang dibahas dalam fonologi antara lain sebagai berikut.

1. Bunyi Ujaran
Bila kita ditempatkan di tengah-tengah suatu lingkungan masyarakat yang menggunakan suatu bahasa yang tak kita pahami sama sekali, serta mendengar percakapan antar penutur-penutur bahasa itu, maka kita mendapat kesan bahwa apa yang merangsang alat pendengar kita itu merupakan suatu arus-bunyi yang di sana-sini diselingi perhentian sebentar atau lama menurut kebutuhan penuturnya. Bila percakapan itu tarjadi antara dua orang atau lebih, akan tampak pada kita bahwa sesudah seseorang menyelesaikan arus-bunyinya itu, maka yang lain akan mengadakan reaksi . Reaksinya dapat berupa : mengeluarkan lagi arus-bunyi yang tak dapat kita pahami itu, atau melakukan suatu tindakan tertentu.
Dari uraian di atas kita dapat menarik kesimpulan bahwa apa yang dalam pengertian kita sehari-hari disebut bahasa itu meliputi dua bidang yaitu : bunyi yang dihasilkan oleh alat-alat ucap dan arti atau makna yang tersirat dalam arus bunyi tadi; bunyi itu merupakan getaran yang merangsang alat pendengar kita, serta arti atau makna adalah isi yang terkandung di dalam arus bunyi yang menyebabkan adanya reaksi itu. Untuk selanjutnya arus-bunyi itu kita namakan arus-ujaran.
Bila kita mengadakan pemotongan suatu arus-ujaran atas bagian-bagian atau segmen-segmen, dan bagian-bagian itu dipotong-potong lagi dan seterusnya, akhirnya kita sampai kepada unsur-unsur yang paling kecil yang disebut bunyi-ujaran . Tiap bunyi ujaran dalam suatu bahasa mempunyai fungsi untuk membedakan arti. Bila bunyi-ujaran itu sudah dapat membedakan arti maka ia disebut fonem ( phone = bunyi, -ema = suatu akhiran dalam bahasa Yunani yang berarti mengandung arti ).
Bila kita melihat deretan kata-kata seperti: lari, dari, tari, mari, atau deretan lain seperti: dari, daki, dasi, dahi, dan sebagainya, dengan jelas kita melihat bahwa bila suatu unsur diganti dengan unsur lainnya akan terjadi pula akibat yang besar yaitu: perubahan arti yang terkandung dalam kata itu. Ini dengan jelas menunjukkan bahwa kesatuan-kesatuan yang kecil yang terjadi dari bunyi-ujaran itu mempunyai peranan dalam membedakan arti.
Batasan: Fonem adalah kesatuan yang terkecil yang terjadi dari bunyi-ujaran yang dapat membedakan arti.

2. Fonetik dan Fonemik
Bagian dari Tatabahasa yang mempelajari bunyi-bunyi bahasa pada umumnya dalam Ilmu Bahasa disebut fonologi .
Fonologi pada umumnya dibagi atas dua bagian yaitu Fonetik dan Fonemik .
Fonetik adalah ilmu yang menyelidiki dan menganalisa bunyi-bunyi ujaran yang dipakai dalam tutur, serta mempelajari bagaimana menghasilkan bunyi-bunyi tersebut dengan alat ucap manusia.
Fonemik adalah ilmu yang mempelajari bunyi-ujaran dalam fungsinya sebagai pembeda arti.
Jika dalam fonetik kita mempelajari segala macam bunyi yang dapat dihasilkan oleh alat-alat ucap serta bagaimana tiap-tiap bunyi itu dilaksanakan, maka dalam fonemik kita mempelajari dan menyelidiki kemungkinan-kemungkinan, bunyi-ujaran yang manakah yang dapat mempunyai fungsi untuk membedakan arti.

3. Alat Ucap
Kita tidak akan memahami sebaik-baiknya segala macam bunyi-ujaran bila kita tidak mengetahui sebaik-baiknya tetntang alat ucap yang menghasilkan bunyi-bunyi tersebut. Sebab itu dalam Fonologi dipelajari juga bagian-bagian tubuh yang ada sangkut-pautnya dengan menghasilkan bunyi-ujaran tersebut.
Bunyi-ujaran dihasilkan oleh berbagai macam kombinasi dari alat-ucap yang terdapat dalam tubuh manusia. Ada tiga macam alat-ucap yang perlu untuk menghasilkan suatu bunyi-ujaran, yaitu:
1. Udara : yang dialirkan keluar dari paru-paru.
2. Artikulator : bagian dari alat-ucap yang dapat digerakkan atau digeserkan untuk menimbulkan suatu bunyi.
3. Titik artikulasi : ialah bagian dari alat-ucap yang menjadi tujuan sentuh dari artikulator.
Dalam menimbulkan bunyi-ujaran /k/ misalnya, dapat kita lihat kerja sama antara ketiga faktor tersebut dia atas. Mula-mula udara mengalir keluar dari paru-paru, sementara itu bagian belakang lidah bergerak ke atas serta merapat ke langit-langit lembut. Akibatnya udara terhalang. Dalam hal ini belakang lidah menjadi artikulatornya, karena belakang lidah merupakan alat-ucap yang bergerak atau digerakkan, sedangkan langit-langit lembut menjadi titik artikulasinya, karena dia tidak bergerak, dia menjadi tempat tujuan atau tempat sentuh belakang lidah.
Yang termasuk alat-ucap adalah: paru-paru (tempat asal aliran udara), tenggorokan, di ujung atas tenggorokan ( laring ) terdapat pita suara. Ruang di atas pita suara hingga ke perbatasan rongga hidung disebut faring . Alat-alat ucap yang terdapat dalam rongga mulut adalah: bibir ( labium ), gigi ( dens ), lengkung kaki gigi ( alveolum ), langit-langit keras ( palatum ), langit-langit lembut ( velum ), anak tekak ( uvula) , lidah, yang terbagi lagi atas beberapa bagian yaitu: ujung lidah ( apex ), lidah bagian depan, lidah bagian belakang dan akar lidah.
Di samping rongga-rongga laring, faring dan rongga mulut sebagaimana telah disebutkan di atas, rongga hidung juga memainkan peranan yang penting dalam menghasilkan bunyi.

4. Pita Suara
Di ujung atas laring terdapatlah dua buah pita yang elastis yang disebut pita suara . Letak pita suara itu horizontal. Antara kedua pita suara itu terdapat suatu celah yang disebut glotis . Dalam menghasilkan suatu bunyi, pita suara itu dapat mengambil empat macam sikap yang penting:
1. Antara kedua pita suara terdapat celah ( glotis ). Celah ini pada suatu saat terbuka lebar , serta udara yang mengalir keluar dari paru-paru tidak mendapat halangan sehingga tidak terdengar geseran sedikitpun. Bunyi yang dihasilkan dengan posisi ini adalah: /h/.
2. Kebalikan dari posisi di atas adalah sikap di mana pita suara tertutup rapat . Udara yang keluar dari paru-paru ditahan oleh pita suara yang tertutup rapat terbentang tegang menutup laring. Bunyi yang dihasilkan dengan sikap ini adalah bunyi hamzah ( glotal stop ). Bunyi ini biasanya dilambangkan dengan /?/, atau dalam ejaan lama dipergunakan tanda (').
3. Posisi yang ketiga adalah bagian atas dari pita suara terbuka sedikit ; udara yang keluar dapat juga menggetarkan pita suara. Segala macam bunyi-ujaran lainnya terjadi dengan sikap pita suara ini. Bila udara yang keluar itu turut menggetarkan pita suara maka terjadilah bunyi-ujaran yang bersuara ; bila pita suara tidak turut digetarkan maka terjadilah bunyi-ujaran yang tak bersuara.
4. Sikap yang keempat adalah bagian bawah dari pita suara terbuka sedikit . Dalam sikap ini kekuatan udara itu hilang atau berkurang sehingga segala macam bunyi-ujaran yang dihasilkan dengan sikap III berkurang juga. Peristiwa ini terjadi ketika berbisik.

5. Vokal
Bila dalam menghasilkan suatu bunyi-ujaran, udara yang keluar dari paru-paru tidak mendapat halangan sedikit juga, kita mendapat bunyi-ujaran yang disebut vokal . Jenis dan macamnya vokal tidak tergantung dari kuat-lembutnya udara, tetapi tergantung dari beberapa hal berikut:
1. Posisi bibir.
Yaitu bentuk bibir pada waktu mengucapkan suatu bunyi. Bibir dapat mengambil posisi bundar atau rata.
a. Bila bentuknya bundar terjadilah vokal bundar : o, u, a.
b. Bila bentuknya rata terjadilah vokal tak bundar : i, e.
2. Tinggi-rendahnya lidah.
Lidah adalah bagian dari rongga mulut yang amat elastis. Jika ujung dan belakang lidah dinaikkan, terjadilah bunyi yang disebut vokal belakang, misalnya: u, o, dan a. Jika lidah rata, akan terjadi bunyi-ujaran yang disebut vokal pusat, yaitu e (pepet).
3. Maju-mundurnya lidah.
Yang menjadi ukuran maju mundurnya lidah adalah jarak yang terjadi antara lidah dan alveolum. Apabila lidah itu dekat ke alveolum, bunyi-ujaran yang terjadi disebut vokal atas, misalnya i dan u. Bila lidah diundurkan lagi, terjadilah bunyi yang disebut vokal tengah, misalnya e. Bila lidah diundurkan sejauh-jauhnya, terjadilah bunyi yang disebut vokal bawah, misalnya a.
Batasan : Vokal adalah bunyi-ujaran yang terjadi karena udara yang keluar dari paru-paru tidak mendapat halangan.
4. Diftong.
Sebelum membicarakan jenis ujaran lain yang disebut konsonan, perlu dibicarakan satu hal yang dalam Tatabahasa Tradisional disebut diftong. Menurut Tatabahasa Tradisional, diftong adalah dua vokal berturutan yang diucapkan dalam suatu kesatuan waktu¸ misalnya seperti yang terdapat dalam kata-kata ramai, pantai, pulau, dan sebagainya. Urutan vokal seperti dalam kata dinamai, ditandai, dll. tidak termasuk diftong, karena tiap-tiapnya diucapkan dalam kesatuan waktu yang berlainan.
Dalam tutur sehari-hari sering terjadi bahwa diftong itu dirubah menjadi satu bunyi tunggal (monoftong), misalnya: kata-kata pantai, ramai, pulau berubah menjadi pante, rame, pulo, dsb. Proses perubahan bunyi diftong menjadi monoftong dalam Tatabahasa Tradisional disebut monoftongisasi. Sebaliknya dapat terjadi bahwa kata-kata yang pada mulanya mengandung bunyi monoftong mengalami perubahan menjadi diftong, misalnya kata-kata sentosa dan anggota dirubah menjadi sentausa dan anggauta. Proses ini disebut diftongisasi.
Dalam Linguistik Modern pengertian diftong tidak digunakan lagi karena tidak sesuai dengan hakekat dari bunyi-bunyi tersebut. Bila kita secara tegas mencatat bunyi-bunyi tersebut dengan mempergunakan prinsip-prinsip Linguistik Modern, maka ada yang ada hanya urutan-urutan konsonan-vokal. Secara fonetis kata-kata tersebut di atas akan ditulis: /ramay/, /pantay/, /pulaw/, dan sebagainya.

6. Konsonan
Bila dalam menghasilkan suatu bunyi-ujaran, udara yang keluar dari paru-paru mendapat halangan, maka terjadilah bunyi yang disebut konsonan . Halangan yang dijumpai udara itu dapat bersifat sebagian yaitu dengan menggeserkan atau mengadukkan arus udara itu.
Dengan memperhatikan bermacam-macam factor untuk menghasilkan konsonan, maka kita dapat membagi konsonan-konsonan:
1. Berdasarkan artikulator dan titik artikulasinya.
2. Berdasarkan macam halangan udara yang dijumpai udara yang mengalir keluar.
3. Berdasarkan turut-tidaknya pita suara bergetar.
4. Berdasarkan jalan yang dilalui udara ketika keluar dari rongga-rongga ujaran.
Batasan : Konsonan adalah bunyi-ujaran yang terjadi karena udara yang keluar dari paru-paru mendapat halangan.
1. Berdasarkan artikulator dan titik artikulasinya, konsonan-konsonan dapat dibagi atas:
a. Konsonan bi-labial, bunyi yang dihasilkan dengan mempertemukan kedua belah bibir: /p/, /b/, /m/, dan /w/. Karena kedua belah bibir sama-sama bergerak, serta keduanya juga menjadi titik sentuh dari bibir yang lainnya, maka sekaligus mereka bertindak sebagai artikulator dan titik artikulasi.
b. Konsonan labio-dental, adalah bunyi yang dihasilkan dengan mempertemukan gigi atas sebagai titik artikulasi dan bibir bawah sebagai artikulatornya: /f/ dan /v/.
c. Konsonan apiko-interdental, adalah bunyi yang terjadi dengan ujung lidah yang bertindak sebagai artikulator dan daerah antar gigi sebagai titik artikulasinya: /t/ dan /n/.
d. Konsonan apiko-alveolar, adalah bunyi yang dihasilkan oleh ujung lidah sebagai artikulator dan lengkung kaki gigi sebagai titik artikulasinya: /d/ dan /n/.
e. Konsonan palatal, adalah bunyi yang dihasilkan oleh bagian tengah lidah sebagai artikulator dan langit-langit keras sebagai titik artikulasinya: /c/, /j/, dan /ny/.
f. Konsonan velar, adalah bunyi yang dihasilkan oleh belakang lidah sebagai artikulator dan langit-langit lembut sebagai titik artikulasinya: /k/, /g/, /ng/, dan /kh/.
g. Hamzah (glottal stop), adalah bunyi yang dihasilkan dengan posisi pita suara tertutup sama sekali, sehingga menghalangi udara yang keluar dari paru-paru. Celah antara kedua pita suara tertutup rapat.
h. Laringal, adalah bunyi yang terjadi karena pita suara terbuka lebar. Bunyi ini dimasukkan dalam konsonan karena udara yang keluar mengalami gesekan.
2. Berdasarkan halangan yang dijumpai udara ketika keluar dari paru-paru, konsonan dapat pula dibagi-bagi atas:
a. Konsonan hambat (stop), merupakan konsonan yang terjadi karena udara yang keluar dari paru-paru sama sekali dihalangi: /p/, /b/, /k/, /t/, /d/, dll. Dalam pelaksanaannya, konsonan hambat dapat disudahi dengan suatu letusan; dalam hal ini konsonan hambat itu disebut konsonan peletus atau konsonan eksplosif, misalnya konsonan p dalam kata pukul, lapar. Atau konsonan hambat itu dapat dilaksanakan dengan tidak ada letusan; maka hambat itu bersifat implosif, misalnya /t/ dalam kata berat, parit, dll.
Dengan cara sederhana dapat dikatakan bahwa hambat eksplosif terdapat bila suatu konsonan hambat diikuti vokal, sedangkan konsonan hambat implosif terjadi bila konsonan hambat itu tidak diikuti vokal.
b. Frikatif (bunyi geser) , merupakan konsonan yang terjadi bila udara yang keluar dari paru-paru digesekkan: /f/, /h/, dan /kh/.
c. Spiran, merupakan konsonan yang terjadi bila udara yang keluar dari paru-paru mendapat halangan berupa pengadukan diiringi bunyi desis: /s/, /z/, /sy/.
d. Likuida, atau disebut juga lateral , merupakan bunyi yang dihasilkan dengan mengangkat lidah ke langit-langit sehingga udara terpaksa diaduk dan keluat melalui kedua sisi: /l/.
e. Getar atau trill, adalah bunyi yang dihasilkan dengan mendekatkan lidah ke alveolum atau pangkal gigi, kemudian lidah itu menjauhi alveolum lagi, dan seterusnya terjadi berulang-ulang dengan cepat, sehingga udara yang keluar digetarkan. Bunyi ini, yang dihasilkan dengan ujung lidah sebagai artikulator disebut getar apikal . Di samping itu dalam Ilmu Bahasa dikenal pula semacam bunyi getar lain yang mempergunakan anak tekak sebagai artikulatornya, dan yang bertindak sebagai titik artikulasinya adalah belakang lidah. Konsonan getar macam ini disebut getar uvular . Getar apikal dilambangkan dengan /r/, sedangkan getar uvular secara fonetis dilambangkan dengan /R/.
3. Berdasarkan bergetar tidaknya pita suara, konsonan terbagi atas:
a. Konsonan bersuara, jika pita suara turut bergetar: /b/, /d/, /n/, /g/, /w/, dan sebagainya.
b. Konsonan tak bersuara, jika pita suara tidak bergetar: /p/, /t/, /c/, /k/, dan sebagainya.
4. Berdasarkan jalan yang diikuti arus udara ketika keluar dari rongga ujaran, konsonan terbagi atas:
a. Konsonan oral, jika udaranya keluar melalui rongga mulut: /p/, /b/, /k/, /d/, /w/ dan sebagainya.
b. Konsonan nasal, jika udaranya keluar melalui rongga hidung: /m/, /n/, /ny, /ng/.

7. Perubahan Fonem
Dalam pelaksanaan bunyi-bunyi ujaran, terjadilah pengaruh timbal-balik antara bunyi-bunyi ujaran yang berdekatan. Karena adanya pengaruh timbal-balik itu terjadilah perubahan-perubahan bunyi-ujaran; ada perubahan yang jelas kedengaran, ada yang kurang jelas kedengaran perubahan yang tidak jelas misalnya fonem /a/ yang berada dalam suku kata /a/ yang berada dalam suku kata terbuka kedengarannya lebih nyaring bila dibandingkan dengan fonem /a/ yang terdapat dalam suku kata tertutup. Bandingkan antara /a/ pada kata: pada, kata, rata , dengan pada kata: bedak, tidak, sempat , dan lain-lain.
Perubahan-perubahan yang jelas kedengaran dan yang terpenting, yang biasa terdapat dalam bahasa adalah:
1. Asimilasi
Asimilasi dalam pengertian biasa berarti penyamaan . Dalam Ilmu Bahasa asimilasi berarti proses di mana dua bunyi yang tidak sama disamakan atau dijadikan hamper bersamaan. Asimilasi dapat dibagi berdasarkan beberapa segi, yaitu berdasarkan tempat dari fonem yang diasimilasikan dan berdasarkan sifat asimilasi itu sendiri.
a. Berdasarkan tempat dari fonem yang diasimilasikan kita dapat membagi asimilasi atas:
i) Asimilasi progresif, bila bunyi yang diasimilasikan terletak sesudah bunyi yang mengasimilasikan. Contoh dalam bahasa Indonesia sejauh ini belum dapat kami temukan. Tetapi untuk memperjelas proses ini dapat diambil suatu contoh asing:
Latin Kuno: Colnis > Collis
Dalam contoh di atas fonem /n/ diasimilasikan dengan fonem /l/ yang mendahuluinya.
ii) Asimilasi regresif, bila bunyi yang diasimilasikan mendahului bunyi yang mengasimilasikan, misalnya:
al salam (Arab) > assalam > asalam
in + perfect > imperfect > imperfek
ad + similatio > assimilasi > asimilasi
in + moral > immoral > immoral, dan lain-lain.
b. Berdasarkan sifat asimilasi itu sendiri, kita dapat membedakan asimilasi atas:
i) Asimilasi total, bila dua fonem yang disamakan itu dijadikan serupa benar:
ad + similatio > assimilasi > asimilasi
in + moral > immoral > imoral
al + salam > assalam > asalam
ii) Asimilasi parsial, bila kedua fonem yang disamakan hanya disamakan sebagian saja, misalnya:
in + perfect > imperfect > imperfek
in + port > import > impor, dan lain-lain.
Dalam hal ini nasal apiko-alveolar dijadikan nasal bilabial, seduai dengan fonem /p/ yang bilabial, tetapi masih berbeda karena yang satu adalah nasal sedangkan yang lain adalah konsonan hambat.
2. Disimilasi
Kebalikan dari asimilasi adalah disimilasi , yaitu proses di mana dua bunyi yang sama dijadikan tidak sama.
Contoh: kolonel > kornel
lauk-lauk > lauk-pauk
sayur-sayur > sayur-mayur
3. Suara bakti
Dalam mengucapkan kata-kata seperti gurauan, kepulauan, pakaian, putra, putri, bahtra, dan lain sebagainya, terdengar bahwa dalam hubungan fonem-fonem itu timbul lagi bunyi w atau atau y , antara u-a , dan antara i-a . Sedangkan pada kata-kata putra, putrid, dan bahtra diselipkan bunyi e (pepet) antara t-r . Bunyi ini sama sekali tidak mempunyai fungsi untuk membedakan arti; gunanya hanya sebagai pelancar ucapan saja. Bunyi semacam itu disebut suara bakti .
Batasan: Suara bakti adalah bunyi yang timbul antara dua fonem, dan mempunyaifungsi untuk melancarkan ucapan suatu kata.

8. Intonasi
Bila kita memperhatikan dengan cermat tutur bicara seseorang, maka arus ujaran (bentuk bahasa) yang sampai ke telinga kita terdengar seperti berombak-ombak. Hal ini terjadi karena bagian-bagian dari arus ujaran itu tidak sama nyaring diucapkan. Ada bagian yang diucapkan lebih keras dan ada bagian yang diucapkan lebih lembut; ada bagian yang diucapkan lebih tinggi dan ada bagian yang lebih rendah; ada bagian yang diucapkan lambat-lambat dan ada bagian yang diucapkan dengan cepat. Di samping itu disana-sini, arus ujaran itu masih dapat diputuskan untuk suatu waktu yang singkat atau secara relatif lebih lama, dengan suara yang meninggi (naik), merata, atau merendah (turun). Keseluruhan dari gejala-gejala ini yang terdapat dalam suatu tutur disebut intonasi .
Berarti intonasi itu bukan merupakan suatu gejala tunggal, tetapi merupakan perpaduan dari bermacam-macam gejala yaitu tekanan (stress), nada(pitch), durasi (panjang-pendek), perhentian, dan suara yang meninggi, mendatar, atau merendah pada akhir arus ujaran tadi. Intonasi dengan semua unsur pembentuknya itu disebut unsur suprasegmental bahasa. Landasan intonasi adalah rangkaian nada yang diwarnai oleh tekanan, durasi, perhentian dan suara yang menaik, merata, merendah pada akhir arus ujaran itu.
Batasan: Intonasi adalah kerja sama antara nada, tekanan, durasi, dan perhentian-perhentian yang menyertai suatu tutur, dari awal hingga ke perhentian terakhir.
Karena unsur yang terpenting dari intonasi adalah tekanan, nada, durasi, dan perhentian, maka di bawah ini akan diberikan uraian singkat mengenai keempat komponen itu.
1. Tekanan (Stress)
a. Pengertian Tekanan
Yang dimaksud dengan tekanan (stress) adalah suatu jenis unsur suprasegmental yang ditandai oleh keras-lembutnya arus ujaran. Arus ujaran yang lebih keras atau lebih lembut ditentukan oleh amplitudo getaran, yang dihasilkan oleh tenaga yang lebih kuat atau lebih lemah. Bila kita mengucapkan sepatah kata secara nyaring, misalnya kata / perumahan/, akan terdengar bahwa dalam arus ujaran itu ada bagian yang lebih keras diucapkan dari bagian yang lain. Menurut idiolek penulis, kata tadi dapat diucapkan sebagai berikut:
/pèrumáhân/
Dari seluruh kata / perumahan/, bagian atas segmen /máh/ kedengarannya lebih keras dari bagian-bagian yang lain. Jadi dalam hal ini kita dapat membeda-bedakan beberapa macam tekanan yang bertalian dengan tingkat keras-lembutnya yaitu:
i) Tekanan paling keras = ´ (Perancis: accent aigu)
ii) Tekanan keras = ` (Perancis: accent grave)
iii) Tekanan lembut = ˆ (Perancis: accent circonflexe)
iv) Tekanan paling lembut = (u) (Perancis: accent breve)
b. Tekanan Distingtif dan non-distingtif
Dalam beberapa bahasa Barat, misalnya Inggris dan Belanda, tekanan dapat berfungsi untuk membedakan arti (distingtif). Berarti bila tekanan keras pada suatu bagian (segmen) dari kata dipindahkan ke bagian yang lain, maka makna kata berubah, misalnya:
Inggris: r é f u s e = sampah
r e f ú s e = menolak
Belanda: d ó o r l o p e n = berjalan terus
d o o r l ó p e n = menjalani, menempatkan
Pada kebanyakan bahasa di dunia, tekanan ini tidak bersifat distingtif ( non distingtif ) yang berarti tidak berfungsi membedakan arti, misalnya bahasa Indonesia, Jawa, dan sebagainya.
c. Tekanan dalam bahasa Indonesia
Walaupun tekanan dalam bahasa Indonesia tidak bersifat distingtif, itu tidak berarti bahwa kata-kata dalam bahasa Indonesia tidak mengandung tekanan. Seperti dalam ilustrasi dengan kata /perumahan/, jelas ada tekanan dalam bahasa Indonesia. Tetapi yang menimbulkan persoalan adalah di mana letak tekanan keras pada kata-kata bahasa Indonesia? Bangsa Indonesia yang memiliki bermacam-macam bahasa daerah dan dialek, memiliki pula intonasi yang berbeda ragamnya. Keanekaan intonasi itu dibawa serta ke dalam bahasa Indonesia, hingga mempengaruhi pula intonasi bahasa Indoenesia. Dalam pergaulan sehari-hari, kita menjumpai bermacam-macam orang yang mempergunakan bahasa Indonesia, tetapi betapa berbeda intonasi yang digunakan oleh seorang Jawa dan seorang Batak, seorang Minang dan seorang Sunda, Ambon atau Fores. Tetapi katakanlah manakah dari semua intonasi itu yang benar? Ukuran-ukuran manakah yang dipakai untuk menetapkan intonasi yang benar? Hingga kini belum ada suatu ketentuan resmi mengenai hal itu.
Ketentuan-ketentuan sementara yang ada sekarang dalam beberapa buku tata bahasa didasarkan saja atas pendapat dan rasa dari beberapa orang tertentu. Yang dibenarkan oleh ilmu bahasa adalah pertama-tama kita harus mengadakan kodifikasi intonasi dari semua penutur bahasa Indonesia, atau sekurang-kurangnya beberapa orang yang mewakili berbagai bahasa daerah dan dialek, baru kemudian dapat ditetapkan kaidah-kaidah intonasi yang baku bagi bahasa Indonesia. Jika dasar ini tidak diperhatikan, maka akan tampak bahwa ketentuan yang dibuat itu akan lainnya jalannya dari kenyataan. Adalah menjadi harapan kita bersama agar dalam waktu yang tidak terlalu lama, sudah dimulai usaha-usaha ke arah tersebut.
d. Tekanan Kalimat
Walaupun tekanan yang distingtif dalam bidang kata tidak ada dalam bahasa Indonesia, dalam bidang kalimat tekanan yang distingtif itu ada. Tekanan semacam itu biasanya disebut emfasis .
Tekanan tersebut dibuat antara lain jika ada kata atau bagian tertentu dari kalimat yang dipentingkan, atau dipertentangkan dengan bagian lain. Misalnya:
• Anak itu memukul adikku.
• Anak itu memukul adikku.
• Anak itu memukul adikku.
• Anak itu memukul adik ku.
• Anak itu memukul adik ku.

2. Nada
a. Pengertian Nada
Yang dimaksud dengan nada adalah suatu jenis unsur suprasegmental yang ditandai oleh tinggi-rendahnya arus-ujaran.
Tinggi rendahnya arus-ujaran terjadi karena frekuensi getaran yang berbeda antar segmen. Bila seseorang berada dalam kesedihan ia akan berbicara dengan nada yang rendah. Sebaliknya bila berada dalam keadaan gembira atau marah, nada tinggilah yang biasanya dipergunakan orang. Suatu perintah atau pertanyaan selalu disertai nada yang khas. Nada dalam ilmu bahasa biasanya dilambangkan dengan angka misalnya /2 3 2/ yang berarti segmen pertama lebih rendah bila dibandingkan dengan segmen kedua, sedangkan segmen ketiga lebih rendah dari segmen kedua. Dengan nada yang berbeda, bidang arti yang dimasukinya pun akan berbeda.
b. Nada yang distingtif dan non-distingtif
Dalam bahasa-bahasa German, demikian juga dalam bahasa-bahasa Nusantara, nada dalam bidang kata tidak diakui sebagai fonem, yaitu bahwa tidak ada nada yang bersifat distingtif. Sebaliknya ahli-ahli bahasa mengakui bahwa nada dalam bahasa Yunani dan Cina mempunyai fungsi distingtif, yaitu mempunyai peranan untuk membedakan arti. Dalam bahasa Indonesia tidak ada nada di bidang kata.
c. Nada dalam Kalimat
Seperti apa yang telah diilustrasikan di atas, nada dalam bahasa Indonesia hanya berfungsi membedakan arti bila terdapat dalam kalimat. Karena intonasi pertama-tama didasarkan pada nada, maka nada yang distingtif dalam kalimat, tidak lain pada dasarnya adalah intonasi yang distingtif. Ada intonasi berita, intonasi tanya, intonasi perintah, intonasi yang menyatakan kemarahan, kegembiraan dan sebagainya, walaupun mungkin unsur segmentalnya sama.
3. Durasi
a. Pengertian
Yang dimaksud dengan durasi adalah suatu jenis unsure suprasegmental yang ditandai oleh panjang pendeknya waktu yang diperlukan untuk mengucapkan sebuag segmen.
Dalam tutur, segmen-segmen dalam kata / tinggi / yaitu / ting / dan / gi / masing-masingnya dapat diucapkan dalam waktu yang sama, tetapi dapat terjadi bahwa seorang pembicara dapat mengucapkan segmen / ting / lebih lama dari segmen / gi / atau sebaliknya. Misalnya:
/ ti . . ng-gi sekali / atau
/ ting-gi . . sekali /
Dalam hal yang pertama /i/ dari segmen / ting / diucapkan lebih lama, sedangkan dalam hal yang kedua /i/ dari segmen / gi / diucapkan lebih lama.
b. Durasi yang Distingtif dan Non-distingtif
Pada umumnya durasi pada bahasa-bahasa di dunia tidak bersifat distingtif dalam bidang kata. Tetapi ada beberapa bahasa yang memiliki durasi distingtif, misalnya bahasa Sansekerta. Durasi distingtif dalam bidang kata biasanya dinyatakan oleh adanya vokal pendek dan vokal panjang dalam bahasa itu. Dalam bahasa Sansekerta misalnya:
bhara (ajektif) = yang mengandung, yang menganugerahkan
bhara (nomina) = muatan, beban
bala (nomina) = kekuatan, pasukan
bala (ajektif) = muda
bala (nomina) = anak
dina (nomina) = hari
dina (ajektif) = hina
Bahasa Indonesia tidak memiliki durasi dalam bidang kata.
c. Durasi dalam Kalimat
Seperti yang telah dikatakan di atas, durasi dalam bidang kata tidak terdapat dalam bahasa Indonesia. Namun dalam bidang kalimat terdapat durasi yang distingtif. Sebuah segmen dalam sebuah kalimat dapat diucapkan dalam waktu yang relatif lebih lama dari segmen-segmen lain dalam kalimat, untuk menekan segmen itu. Misalnya:
/ pakaian yang dipakainya itu maha . . l sekali /
Atau apabila seorang lagi berpidato atau berbicara akan mengucapkan bagian tertentu dari pidatonya, entah berwujud klausa, kalimat, atau rangkaian kalimat-kalimat, dalam waktu yang lebih lambat dari bagian-bagian lainnya. Dan dalam banyak hal cara ini sering digunakan. Bagian yang tidak penting diucapkan cepat-cepat, sementara bagian yang penting diucapkan lambat-lambat.
4. Kesenyapan
Kesenyapan merupakan suatu proses yang terjadi selama berlangsungnya suatu tutur atau suatu arus-ujaran, yang memutuskan arus-ujaran yang tengah berlangsung . Oleh karena itu kesenyapan selalu berada dalam bidang tutur, minimal dalam bidang kalimat.
Ada kesenyapan yang bersifat sementara atau berlangsung sesaat saja, yang menunjukkan bahwa tutur itu masih akan dilanjutkan. Ada pula perhentian yang sifatnya lebih lama, yang biasanya diikuti oleh suara yang menurun yang menyatakan bahwa tutur atau bagiab dari tutur itu telah mencapai kebulatan.
Kesenyapan jenis pertama disebut kesenyapan antara atau kesenyapan non-final atau jeda . Kesenyapan ini biasanya dilambangkan dengan tanda koma (,). Sedangkan kesenyapan yang kedua disebut kesenyapan akhir atau kesenyapan final . Kesenyapan ini biasanya dilambangkan dengan tanda titik (.) atau titik koma (;) bila suaranya merendah, dan akan dilambangkan dengan tanda tanya (?) jika intonasi merendah, dan kan dilambangkan dengan tanda seru (!) jika intonasinya lebih keras kedengaran dengan suara yang menurun.

9. Ejaan Bahasa Indonesia
1. Huruf
Bagian terbesar dari sejarah umat manusia berada dalam kegelapan karena perkembangan, perluasan, timbul-tenggelamnya bahasa-bahasa di muka bumi ini tidak diketahui. Bangsa-bangsa dahulu kala tidak mengenal suatu cara untuk dapat meninggalkan kepada kita riwayat hidup mereka. Sumber-sumber yang tertulis baru saja diketahui, dan hanya meliputi beberapa ribu tahun saja.
Bukti-bukti tertulis itu dalam bentuk yang paling tua terdapat misalnya pada orang-orang Indian Mexico berupa lukisan-lukisan. Suatu urutan lukisan menggambarkan kepada kita suatu peristiwa tertentu. Cara ini biassa disebut piktograf. Piktograf itu lambat laun dikembangkan sedemikian rupa hingga suatu lukisan dapat menggambarkan pengertian-pengertian tertentu. Kata-kata yang berlainan tetapi mempunyai bunyi yang sama juga dapat dilukiskan dengan tanda atau simbol yang sama; sistem ini disebut ideograf atau logograf, yaitu suatu sistem dimana suatu kata dilambangkan oleh suatu tanda, misalnya dalam huruf-huruf Tiongkok. Dalam sistem kita yang modern ini masih dapat ditemukan sistem logograf ini, yaitu bila kita melambangkan bilangan-bilangan memakai tanda-tanda: 1, 2, 3, 4, 5, dan sebagainya.
Dari sistem ideograf atau logograf itu kemudian diturunkan bermacam-macam lambang yang mewakili suku kata saja. Contoh yang dapat dikemukakan adalah huruf-huruf Jepang, Dewa Negari, Arab dan lain-lain. Untuk menunjukkan vokal dalam huruf-huruf Arab dan Dewa Negari diberi tanda-tanda baru.perkembangan yang paling akhir sebagai penyempurnaan dari sistem perlambangan atas suku kata (silabis), adalah setiap bunyi dilambangkan dengan satu tanda. Sistem ini disebut fonemis , misalnya aksara Latin, Yunani, Jerman, dan sebagainya.
Dengan bermacam-macam cara itulah orang dapat melukiskan bahasa dalam bentuk lambang-lambang. Segala macam cara itu pada umumnya disebut huruf.
Di antara sekian macam sistem itu, huruf yang didasarkan atas satu lambang untuk satu bunyi adalah sistem yang paling baik. Dan untuk selanjutnya pengertian huruf yang akan dipakai adalah pengertian terakhir.
Jadi sejauh ini sekurang-kurangnya umat manusia telah mengenal 4 macam sistem tulisan.
a. Tulisan piktograf: urutan beberapa gambar untuk melukiskan suatu peristiwa, misalnya pada orang Indian Mexico.
b. Ideograf atau logograf: suatu tanda atau lambang mewakili sepatah kata atau pengertian, misalnya huruf Cina.
c. Tulisan silabis: suatu tanda untuk menggambarkan suatu suku kata, misalnya tulisan Jepang, Dewa Negari, dan lain-lain.
d. Tulisan fonemis: satu tanda untuk melambangkan satu bunyi, misalnya huruf Latin, Yunani, Jerman dan lain-lain.
Batasan: Huruf adalah lambang atau gambaran dari bunyi .
Setiap sistem perlambangan bunyi-ujaran mempunyai urutan-urutan tertentu. Rentetan urutan sistem Latin lain dari Yunani dan lain pula dari urutan sistem Rusia. Rentetan huruf-huruf menurut sistem tertentu itu kita kenal dengan abjad atau alfabet . Jadi ada alfabet Latin, ada alfabet Yunani dan lain-lain.

2. Ejaan
Dasar yang paling baik dalam melambangkan bunyi-ujaran atau bahasa adalah satu bunyi-ujaran yang mempunyai fungsi untuk membedakan arti harus dilambangkan dengan satu lambang tertentu. Dengan demikian pelukisan atas bahasa lisan itu akan mendekati kesempurnaan, walaupun kesempurnaan yang dimaksud itu tentulah dalam batas-batas ukuran kemanusiaan, masih bersifat relatif. Walaupun begitu literasi (penulisan) bahasa itu belum memuaskan karena kesatuan intonasi yang bulat yang menghidupkan suatu arus-ujaran itu hingga kini belum dapat diatasi. Sudah diusahakan bermacam-macam tanda untuk tujuan itu tetapi belum juga memberi kepuasan. Segala macam tanda baca untuk menggambarkan perhentian antara, perhentian akhir, tekanan, tanda tanya, dan lain-lain adalah hasil dari usaha itu. Tetapi hasil usaha itu belum dapat menunjukkan dengan tegas bagaimana suatu ujaran harus diulang oleh yang membacanya.
Segala macam tanda baca seperti yang disebut di atas disebut tanda baca atau pungtuasi.
Walaupun sistem ejaan sekarang didasarkan atas sistem fonemis, yaitu satu tanda untuk satu bunyi, namun masih terdapat kepincangan-kepincangan. Ada fonem yang masih dilambangkan dengan dua tanda (diagraf), misalnya ng, ny, kh, dan sy. Jika kita menghendaki kekonsekuenan terhadap prinsip yang dianut, maka diagraf-diagraf tersebut harus dirubah menjadi monograf (satu fonem satu tanda). Di samping itu masih terdapat kekurangan lain yang sangat mengganggu terutama dalam mengucapkan kata-kata yang bersangkutan, yaitu ada dua fonem yang dilambangkan dengan satu tanda saja yakni e (pepet) dan e (taling). Ini menimbulkan dualisme dalam pengucapan.
Ejaan suatu bahasa tidak saja berkisar pada persoalan bagaimana melambangkan bunyi-bunyi ujaran serta bagaimana menempatkan tanda-tanda baca dan sebagainya, tetapi juga meliputi hal-hal seperti: bagaimana menggabungkan kata-kata, baik dengan imbuhan-imbuhan maupun antara kata dengan kata. Pemotongan itu berguna terutama bagaimana kita harus memisahkan huruf-huruf itu pada akhir suatu baris, bila baris itu tidak memungkinkan kita menulils seluruh kata di sana. Apakah kita harus memisahkan kata bunga menjadi bu – nga atau b – unga . Semuanya ini memerlukan suatu peraturan umum, agar jangan timbul kesewenangan.
Batasan: Keseluruhan peraturan bagaimana menggambarkan lambang-lambang bunyi-ujaran dan bagaimana inter-relasi antara lambang-lambang itu (pemisahannya, penggabungannya) dalam suatu bahasa disebut ejaan.
3. Macam-Macam Ejaan
Sebelum tahun 1900 setiap peneliti bahasa Indonesia (pada waktu itu bahasa Melayu) membuat sistem ejaannya sendiri-sendiri, sehingga tidak terdapat kesatuan dalam ejaan. Pada tahun 1900, Ch. van Ophuysen mendapat perintah untuk menyusun ejaan Melayu dengan mempergunakan aksara Latin. Dalam usahanya itu ia sekedar mempersatukan bermacam-macam sistem ejaan yang sudah ada, dengan bertolak dari sistem ejaaan bahasa Belanda sebagai landasan pokok. Dengan bantuan Engku Nawawi gelar Soetan Ma'moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim, akhirnya ditetapkanlah ejaan itu dalam bukunya Kitab Logat Melajoe, yang terkenal dengan nama Ejaan van Ophuysen atau ada juga yang menyebutnya Ejaan Balai Pustaka, pada tahun 1901. Ejaan tersebut tidak sekali jadi tapi tatap mengalami perbaikan dari tahun ke tahun dan baru pada tahun 1926 mendapat bentuk yang tetap.
Selama Kongres Bahasa Indonesia tahun 1938 telah disarankan agar ejaan itu lebih banyak diinternasionalisasikan. Dan memang dalam perkembangan selanjutnya terutama sesudah Indonesia merdeka dirasakan bahwa ada beberapa hal yang kurang praktis yang harus disempurnakan. Sebenarnya perubahan ejaan itu telah dirancangkan waktu pendudukan Jepang. Pada tanggal 19 Maret 1947 dikeluarkan penetapan baru oleh Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan Suwandi (SK No. 264/Bag.A/47) tentang perubahan ejaan bahasa Indonesia; sebab itu ejaan ini kemudian terkenal dengan nama Ejaan Suwandi.
Sebagai dampak dalam keputusan di atas, bunyi oe tidak semuanya diganti dengan u. Baru pada tahun 1949, menurut surat edaran Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tanda oe mulai 1 Januari 1949 diganti dengan u.
Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 kembali mempersoalkan masalah ejaan. Sesuai dengan usul Kongres, kemudian dibentuk sebuah panitian dengan SK No. 44876 tanggal 19 Juli 1956. Panitia ini berhasil merumuskan patokan-patokan baru pada tahun 1957. namun keputusan ini tidak dapat dilaksanakan karena ada usaha untuk mempersamakan ejaan Indonesia dan Melayu. Sebab itu pada akhir tahun 1959 sidang perutusan Indonesia dan Melayu berhasil merumuskan suatu konsep ejaan bersama yang kemudian dikenal dengan nama Ejaan Melindo (Melayu – Indonesia). Tetapi konsep ejaan ini juga tidak jadi diumumkan karena perkembangan politik kemudian.
Karena laju perkembangan pembangunan, maka dirasakan bahwa ejaan perlu disempurnakan. Sebab itu, di tahun 1966 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Sarino Mangunpranoto dibentuk lagi sebuah Panitia Ejaan Bahasa Indonesia, yang bertugas menyusun konsep baru, yang merangkum segala usaha penyempurnaan yang terdahulu. Sesudah berkali-kali diadakan penyempurnaan, maka berdasarkan Kepurusan Presiden No. 57 tahun 1972 diresmikan ejaan baru yang mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1972, yang dinamakan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).
Perubahan yang paling penting dalam EYD adalah:
Lama Yang Disempurnakan
dj djalan j jalan
j pajung y payung
nj njonja ny nyonya
sj* sjarat sy syarat
tj tjakap c cakap
ch* tarich kh tarikh
* Kedua gabungan huruf ini sebenarnya tidak terdapat dalam ejaan lama. Di samping itu diresmikan pula huruf-huruf berikut di dalam pemakaian:
f maaf, fakir
v valuta, universitas
z zeni, lezat
q, x huruf-huruf q dan x yang lazim digunakan dalam ilmu eksakta tetap dipakai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Leave your comment^^ Gomawo^^

Google Search