Ketika kita mengalami suatu
peristiwa yang menyenangkan, menyedihkan, bahkan sampai yang memalukan dan
memilukan, kita bisa menciptakan suatu karya sastra dari peristiwa tersebut,
namun kita juga harus menambahkannya dengan hal-hal yang dapat membuat karya
sastra tersebut memiliki nilai estetika yang tinggi.
Dalam membuat sebuah karya sastra,
kita pastinya membutuhkan suatu kekreatifan dan daya imajinasi yang tinggi.
Kita bisa mengeksperikan apapun ide-ide yang ada di kepala kita. Tidak ada
batasan sama sekali dalam menuliskan sebuah karya sastra. Kita bisa dengan
bebas menggunakan berbagai bentuk gaya bahasa dalam menuangkan ide-ide kita,
kita bisa bebas menggunakan bentuk-bentuk perumpamaan dalam karya sastra yang
kita buat. Hal ini tentu saja demi memperindah karya sastra yang sedang kita
tulis.
Seperti dalam cerpen karya M. Shoim
Anwar yang berjudul “Kutunggu di Jarwal’ yang
menceritakan sebuah penantian. Penantian yang dilakukan seorang pria tua di
tanah suci. Pria tua ini sedang menunggu kematiannya. Dia menginginkan kematian
di tanah yang suci. Pria tua ini semasa muda, bekerja sebagai seorang penegak
hukum, selalu berpindah-pindah tugas yang mengakibatkan dirinya selalu jauh
dari istri dan anaknya.
Gaji resmi yang diterimanya tidak
mencukupi kehidupan keluarganya. Namun, karena pekerjaannya, terkadang dia
mendapatkan uang lebih maupun sesuatu dari seseorang yang membutuhkan
bantuannya dalam menjalani suatu perkara
hukum.
... gaji resmi
tentu saja tak mencukupi. Sementara setiap bulan istri dan lima anak meminta
kiriman. Secara jujur, gajiku sebenarnya habis untuk beli rokok, sehari
menghabiskan dua hingga tiga pak rokok kretek berharga mahal. Akulah sang
perokok berat itu. tapi nyatanya, kami semua bisa hidup serba berkecukupan.
Pangan, papan, sandang, kendaraan, hiburan, dan berbagai kebutuhan hidup dapat
terpenuhi secara layak. Tamu-tamu yang datang selalu membawa kesenangan. Kau
pasti bisa menebak, jalan apa yang aku tempuh dahulu.
Dari kutipan di atas, menjelaskan
bahwa sewaktu bekerja dulu, sang pria ini selalu melakukan sesuatu yang diluar
jalan yang sebenarnya. Dia tidak bisa bersikap jujur dengan pekerjaannya. Dia
sudah berbuat hal yang sudah melanggar sumpahnya menjadi seorang penegak hukum.
Kami, tiga hakim
dan seorang jaksa saat itu, yang biasanya dengan santai dan kelakar saling
membantu menyusun skenario untuk disandiwarakan saat sidang karena pihak yang
berperkara sudah menyatakan “minta tolong”, kini harus super hati-hati.
Dari kutipan di atas, sudah dengan
jelas terbukti bahwa di dalam cerpen tersebut diceritakan bahwa sebuah lembaga
hukum tidak menjalankan tugasnya dengan benar. Mereka melakukan tindakan
kerjasama untuk membantu pihak yang berperkara, yang pasti karena embel-embel
uang yang banyak.
Kehidupan kelam yang dialami pria
itu akhirnya berakhir setelah dirinya pensiun. Dia tahu bahwa perbuatan di masa
mudanya sangatlah kelam. Dia berusaha untuk menebus segala kesalahannya dengan
cara datang ke tanah suci. Dia senantiasa berdoa meminta pengampunan sambil
menunggu ajal menjemputnya.
Saat di Jarwal, pria ini bertemu
dengan seorang TKI yang meminta bantuannya. TKI yang bernama Ina ini meminta
dia untuk menikahkahnnya dengan seorang lelaki berkebangsaan Bangladesh. Ina
mengatakan hanya dengan menikah, dirinya bisa terbebas dari kukungan majikannya
yang selalu memintanya melakukan hubungan suami istri.
Namun, sang pria tidak mengindahkan
permintaan Ina karena Ina sudah memiliki seorang suami di Indonensia. Berbagai
cara sudah dilakukan Ina, namun si pria tetap kukuh dan tidak mau membantu.
Hingga suatu saat, sang pria ingin pergi ke tempat suci, dia merasa kalau dia
sudah mendekati ajal, dia ingin meninggal di tempat suci.
Kejiwaan yang dialami sang pria
sudah sangat tidak rasional, bagaimana bisa kita mengetahui kalau ajal akan
mendatangi kita. Dia berhalusinasi, dia membayangkan sosok lelaki dan perempuan
yangberjalan dibelakangnya sebagai malaikat pencabut nyawa yang sedang menyamar
sebagai orang yang dia kenal.
Terbukti dalam kutipan berikut:
Entah berapa
lama aku terpuruk di ceruk sempit itu. selimut di badan terasa basah. Aku
menggigil. Malaikat pengintai yang berwujud Ina tadi telah menghilang. Meski
begitu, bayangannya masih menempel di ceruk-ceruk gedung. Aku mencoba bangkit,
tak ingin mati di ceruk sempit dan pesing ini
Keinginannya untuk meninggal di
tempat suci sangatlah besar dan membuat kejiwaannya sedikit terguncang. Sudah
beberapa hari dia bermalam di tempat suci namun Tuhan masih belum juga
mengambil nyawanya. Keingininan kembali ke bilik penginapan muncul dan akhirnya
dia kembali ke bilik penginapan.
Di tengah erjalanan, dia melihat
polisi yang sedang coretan di tanah untuk mengidentifikasi kejadian yang baru
saja terjadi. Kejadian seseorang yang terjatuh dari tangga lantai atas dan
menyebabkannya meninggal. Dia menganggap yang meninggal adalah Ina. Dia merasa
bersalah kepada Ina karena tidak menolongnya.
Di dalam pikiran pria itu sudah
tersetting bahwa dia datang ke Jarwal hanya untuk mati. Mati di tempat yang
menurutnya suci. Meskipun kematian tidak tahu kapan datangnya, tapi dia tetap
akan menunggunya.