Sabtu, 12 April 2014

ISTRIKU DAN KUE PASTEL



Karya sastra merupakan cipta atau fiksi yang bersifat imajinatif. Karya sastra juga merupakan tiruan dari peristiwa yang kita alami. Bentuk karya sastra bisa berupa prosa maupun puisi. Ketika kita mengalami suatu peristiwa yang menyenangkan, menyedihkan, bahkan sampai yang memalukan dan memilukan, kita bisa menciptakan suatu karya sastra dari peristiwa tersebut, namun kita juga harus menambahkannya dengan hal-hal yang dapat membuat karya sastra tersebut memiliki nilai estetika yang tinggi.
Dalam membuat sebuah karya sastra, kita pastinya membutuhkan suatu kekreatifan dan daya imajinasi yang tinggi. Kita bisa mengeksperikan apapun ide-ide yang ada di kepala kita. Tidak ada batasan sama sekali dalam menuliskan sebuah karya sastra. Kita bisa dengan bebas menggunakan berbagai bentuk gaya bahasa dalam menuangkan ide-ide kita, kita bisa bebas menggunakan bentuk-bentuk perumpamaan dalam karya sastra yang kita buat. Hal ini tentu saja demi memperindah karya sastra yang sedang kita tulis.
Seperti dalam cerpen karya M. Shoim Anwar yang berjudul Jawa, Cina, Madura Nggak Masalah. Yang Penting Rasanya... penulis bisa dengan bebasnya mengekspresikan dan menuangkan segala ide-ide yang ada di dalam otaknya. Penulis juga bisa menggabungkan peristiwa yang dialaminya dengan imajinasi-imajinasi yang ada dalam pikirannya dengan baik.
Sebenarnya, cerpen Jawa, Cina, Madura Nggak Masalah. Yang Penting Rasanya... menceritakan sebuah peristiwa yang dialami oleh sang suami saat dirinya membelikan alat-alat kecantikan yang diinginkan sang istri. Sang suami bertemu dengan seorang penjual jajanan kue pastel. Penjual kue pastel yang diketahui bernama Ko Han yang merupakan keturunan Cina ini memiliki suatu ciri khas dalam menjual kue pastelnya. Ko Han selalu mengucapkan kalimat “Jawa, Cina, Madura nggak masalah. Yang penting rasanya”.

 “Jawa, Cina, Madura nggak masalah. Yang penting rasanya...”
Kali ini jempolnya didekatkan ke muka saya sambil digerak-gerakkan.
“Dijamin puas, Om. Kulitnya kuning mulus, dan bersih. Montok lagi.”
Berdasarkan kutipan tersebut Ko Han sang penjual kue pastel itu secara tidak langsung menyamakan jajanan kue pastel yang dibuatnya seperti seorang perempuan. Mungkin ini memang sebuah trik dagang yang dilakukan oleh Ko Han dalam menarik para pembeli. Namun, bukankah terlalu berlebihan bila sebuah kue pastel yang harganya tidak seberapa itu disamakan dengan seorang perempuan. Kalimat khas Ko Han ini menjadi sangat menarik bagi sang suami dan dia ingin mencoba mempraktekkannya kepada sang istri apabila sudah berada di rumah. Sang suami ingin mengetahui bagaimana reaksi sang istri.
Kata-kata itu pula yang saya bisikkan kepada istri begitu tiba di rumah. Kontan dia membelalak hingga matanya kelihatan bundar. Kedua pipi saya dipegangnya dan digoncang-goncang.
“Jangan macam-macam. Kurang apa aku?”
“Nggak kurang.”
“Pakai membanding-bandingkan dengan Cina dan Madura segala.”
“Justru harus dibandingkan biar tahu kelebihannya.”
Dilihat dari kutipan di atas, jelas sang istri merasa tersinggung. Kalimat “Jawa, Cina, Madura nggak masalah. Yang penting rasanya” terlalu frontal. Bagi sang istri, kalimat itu mampu menyulut emosinya, karena sang istri tidak suka dibanding-bandingkan dengan etnis Cina, dan Madura. Apalagi kalimat “yang penting rasanya” terdengar kurang enak didengar, memangnya perempuan seperti makanan yang dicicipi bisa ketahuan bagaimana rasanya. Pantas saja sang istri merasa tersinggung dengan kalimat ini. Sang suami menyamakan dirinya dengan makanan.
Namun, dalam cerpen ini juga digambarkan bagaimana kedudukan seorang perempuan yang bisa memposisikan dirinya di atas lelaki. Sang istri bisa mengendalikan sang suami. Sang istri bisa membuat sang suami menuruti segala keinginannya. Jadi, kedudukan perempuan dalam cerpen ini berada di atas lelaki. Ini merupakan hal yang angat menarik, apalagi penulis merupakan seorang lelaki, dan dirinya bisa mengesampingkan egonya sebagai lelaki yang biasanya memposisikan dirinya di atas perempuan dengan menulis cerita yang menjadikan sosok perempuan berada di atasnya.
“Begituan malu. Kasep. Tega-teganya istri disuruh sendirian.”
“Kebanyakan perempuan melakukannya sendiri.”
“Tiap hari kok melayani melulu dan selalu di bawah suami. Sesekali aku di atas biar sedikit leluasa bergerak.”
“Sesekali aku juga perlu istirahat.”
“Ini pun demi kamu. Kalau kelihatan cantik, kamu juga yang senang.”
Dalam kutipan di atas, bisa dilihat dengan jelas bahwa sang istri berusaha memposisikan dirinya di atas sang suami. Sang istri menginginkan sang suami menuruti segala apa yang diinginkannya, dengan sifat cerewet dan keras kepalanya. Sang istri berani berdebat dengan sang suami yang notabennya adalah kepala keluarga yang seharusnya harus dihormatinya hanya karena menginginkan sesuatu.
Saya akhirnya melaksanakan juga permintaan istri. Dia tersenyum, mungkin sebagai pertanda kemenangan. Dia mengikuti saya. Saya segera ke kamar melepaskan baju dan celana. Setelah rampung, saya berganti pakaian yang lebih baik. Di atas meja sudah ada secarik kertas berisi daftar alat-alat kecantikan yang harus saya beli ...
Dalam kutipan di atas, malah menguatkan akan dominasi perempuan. Sang suami tidak bisa menolak apa yang dikehendaki sang istri. Sang suami dengan pasrah mengiyakan apa yang diinginkan istrinya. Mungkin karena rasa cinta sang suami yang mampu membutakan segalanya sehingga membuatnya tidak bisa menolak kesewenang-wenangan istrinya. Hal ini kan juga demi sang suami agar tidak merasa bosan dengan sang istri. Jadi, apa salahnya sang suami menuruti keinginan sang istri.
Di akhir cerita juga diceritakan sang istri melakukan kontak fisik yang mengakibatkan sang suami terjatuh karena dorongan sang istri. Hal inimakin memperkuat bagaimana kedudukan sang istri dalam keluarganya. Sang istri mampu mematahkan dominasi sang suami.
Spontan perempuan itu bangkit dan mendorong saya. Karena tidak siap, saya terdorong ke belakang dan jatuh ketika menabrak kursi.
“Jawa, Cina, Madura nggak masalah. Yang penting rasanya.” Kata istri saya menirukan sambil tertawa-tawa menuding saya terjengkang. Sialan!
Secara keseluruhan, cerpen ini sangat menarik. Namun, menyamakan perempuan dengan makanan sangatlah kurang enak didengar dan mampu menggores harga diri seorang perempuan. Untungnya di dalam cerpen menggambarkan seorang perempuan sebagai sosok yang mendominasi, perempuan diceritakan sebagai seorang yang sangat kuat dan berkuasa, membuat luka akibat goresan itu sedikit terobati, meskipun hanya sedikit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Leave your comment^^ Gomawo^^

Google Search