Karya sastra merupakan cipta atau
fiksi yang bersifat imajinatif. Karya sastra juga merupakan tiruan dari
peristiwa yang kita alami. Bentuk karya sastra bisa berupa prosa maupun puisi. Ketika
kita mengalami suatu peristiwa yang menyenangkan, menyedihkan, bahkan sampai
yang memalukan dan memilukan, kita bisa menciptakan suatu karya sastra dari
peristiwa tersebut, namun kita juga harus menambahkannya dengan hal-hal yang
dapat membuat karya sastra tersebut memiliki nilai estetika yang tinggi.
Dalam membuat sebuah karya sastra,
kita pastinya membutuhkan suatu kekreatifan dan daya imajinasi yang tinggi.
Kita bisa mengeksperikan apapun ide-ide yang ada di kepala kita. Tidak ada
batasan sama sekali dalam menuliskan sebuah karya sastra. Kita bisa dengan
bebas menggunakan berbagai bentuk gaya bahasa dalam menuangkan ide-ide kita,
kita bisa bebas menggunakan bentuk-bentuk perumpamaan dalam karya sastra yang
kita buat. Hal ini tentu saja demi memperindah karya sastra yang sedang kita
tulis.
Seperti dalam cerpen karya M. Shoim
Anwar yang berjudul Jawa, Cina, Madura
Nggak Masalah. Yang Penting Rasanya... penulis bisa dengan bebasnya
mengekspresikan dan menuangkan segala ide-ide yang ada di dalam otaknya. Penulis
juga bisa menggabungkan peristiwa yang dialaminya dengan imajinasi-imajinasi
yang ada dalam pikirannya dengan baik.
Sebenarnya, cerpen Jawa, Cina, Madura Nggak Masalah. Yang
Penting Rasanya... menceritakan sebuah peristiwa yang dialami oleh sang
suami saat dirinya membelikan alat-alat kecantikan yang diinginkan sang istri.
Sang suami bertemu dengan seorang penjual jajanan kue pastel. Penjual kue
pastel yang diketahui bernama Ko Han yang merupakan keturunan Cina ini memiliki
suatu ciri khas dalam menjual kue pastelnya. Ko Han selalu mengucapkan kalimat “Jawa, Cina, Madura nggak masalah. Yang
penting rasanya”.
“Jawa, Cina, Madura nggak masalah. Yang
penting rasanya...”
Kali ini
jempolnya didekatkan ke muka saya sambil digerak-gerakkan.
“Dijamin puas,
Om. Kulitnya kuning mulus, dan bersih. Montok lagi.”
Berdasarkan kutipan tersebut Ko Han
sang penjual kue pastel itu secara tidak langsung menyamakan jajanan kue pastel
yang dibuatnya seperti seorang perempuan. Mungkin ini memang sebuah trik dagang
yang dilakukan oleh Ko Han dalam menarik para pembeli. Namun, bukankah terlalu
berlebihan bila sebuah kue pastel yang harganya tidak seberapa itu disamakan
dengan seorang perempuan. Kalimat khas Ko Han ini menjadi sangat menarik bagi
sang suami dan dia ingin mencoba mempraktekkannya kepada sang istri apabila
sudah berada di rumah. Sang suami ingin mengetahui bagaimana reaksi sang istri.
Kata-kata itu
pula yang saya bisikkan kepada istri begitu tiba di rumah. Kontan dia
membelalak hingga matanya kelihatan bundar. Kedua pipi saya dipegangnya dan
digoncang-goncang.
“Jangan macam-macam.
Kurang apa aku?”
“Nggak kurang.”
“Pakai
membanding-bandingkan dengan Cina dan Madura segala.”
“Justru harus
dibandingkan biar tahu kelebihannya.”
Dilihat dari kutipan di atas, jelas
sang istri merasa tersinggung. Kalimat “Jawa,
Cina, Madura nggak masalah. Yang penting rasanya” terlalu frontal. Bagi
sang istri, kalimat itu mampu menyulut emosinya, karena sang istri tidak suka
dibanding-bandingkan dengan etnis Cina, dan Madura. Apalagi kalimat “yang penting rasanya” terdengar kurang
enak didengar, memangnya perempuan seperti makanan yang dicicipi bisa ketahuan
bagaimana rasanya. Pantas saja sang istri merasa tersinggung dengan kalimat
ini. Sang suami menyamakan dirinya dengan makanan.
Namun, dalam cerpen ini juga digambarkan
bagaimana kedudukan seorang perempuan yang bisa memposisikan dirinya di atas
lelaki. Sang istri bisa mengendalikan sang suami. Sang istri bisa membuat sang
suami menuruti segala keinginannya. Jadi, kedudukan perempuan dalam cerpen ini
berada di atas lelaki. Ini merupakan hal yang angat menarik, apalagi penulis
merupakan seorang lelaki, dan dirinya bisa mengesampingkan egonya sebagai
lelaki yang biasanya memposisikan dirinya di atas perempuan dengan menulis
cerita yang menjadikan sosok perempuan berada di atasnya.
“Begituan malu.
Kasep. Tega-teganya istri disuruh sendirian.”
“Kebanyakan
perempuan melakukannya sendiri.”
“Tiap hari kok
melayani melulu dan selalu di bawah suami. Sesekali aku di atas biar sedikit
leluasa bergerak.”
“Sesekali aku
juga perlu istirahat.”
“Ini pun demi
kamu. Kalau kelihatan cantik, kamu juga yang senang.”
Dalam kutipan di atas, bisa dilihat
dengan jelas bahwa sang istri berusaha memposisikan dirinya di atas sang suami.
Sang istri menginginkan sang suami menuruti segala apa yang diinginkannya,
dengan sifat cerewet dan keras kepalanya. Sang istri berani berdebat dengan
sang suami yang notabennya adalah kepala keluarga yang seharusnya harus
dihormatinya hanya karena menginginkan sesuatu.
Saya akhirnya
melaksanakan juga permintaan istri. Dia tersenyum, mungkin sebagai pertanda
kemenangan. Dia mengikuti saya. Saya segera ke kamar melepaskan baju dan
celana. Setelah rampung, saya berganti pakaian yang lebih baik. Di atas meja
sudah ada secarik kertas berisi daftar alat-alat kecantikan yang harus saya
beli ...
Dalam kutipan di atas, malah
menguatkan akan dominasi perempuan. Sang suami tidak bisa menolak apa yang
dikehendaki sang istri. Sang suami dengan pasrah mengiyakan apa yang diinginkan
istrinya. Mungkin karena rasa cinta sang suami yang mampu membutakan segalanya
sehingga membuatnya tidak bisa menolak kesewenang-wenangan istrinya. Hal ini
kan juga demi sang suami agar tidak merasa bosan dengan sang istri. Jadi, apa
salahnya sang suami menuruti keinginan sang istri.
Di akhir cerita juga diceritakan
sang istri melakukan kontak fisik yang mengakibatkan sang suami terjatuh karena
dorongan sang istri. Hal inimakin memperkuat bagaimana kedudukan sang istri
dalam keluarganya. Sang istri mampu mematahkan dominasi sang suami.
Spontan
perempuan itu bangkit dan mendorong saya. Karena tidak siap, saya terdorong ke
belakang dan jatuh ketika menabrak kursi.
“Jawa, Cina,
Madura nggak masalah. Yang penting rasanya.” Kata istri saya menirukan sambil
tertawa-tawa menuding saya terjengkang. Sialan!
Secara keseluruhan, cerpen ini
sangat menarik. Namun, menyamakan perempuan dengan makanan sangatlah kurang
enak didengar dan mampu menggores harga diri seorang perempuan. Untungnya di
dalam cerpen menggambarkan seorang perempuan sebagai sosok yang mendominasi, perempuan
diceritakan sebagai seorang yang sangat kuat dan berkuasa, membuat luka akibat
goresan itu sedikit terobati, meskipun hanya sedikit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Leave your comment^^ Gomawo^^