Kamis, 17 April 2014

KEMATIAN PASTI DATANG TANPA PERLU DITUNGGU


Ketika kita mengalami suatu peristiwa yang menyenangkan, menyedihkan, bahkan sampai yang memalukan dan memilukan, kita bisa menciptakan suatu karya sastra dari peristiwa tersebut, namun kita juga harus menambahkannya dengan hal-hal yang dapat membuat karya sastra tersebut memiliki nilai estetika yang tinggi.
Dalam membuat sebuah karya sastra, kita pastinya membutuhkan suatu kekreatifan dan daya imajinasi yang tinggi. Kita bisa mengeksperikan apapun ide-ide yang ada di kepala kita. Tidak ada batasan sama sekali dalam menuliskan sebuah karya sastra. Kita bisa dengan bebas menggunakan berbagai bentuk gaya bahasa dalam menuangkan ide-ide kita, kita bisa bebas menggunakan bentuk-bentuk perumpamaan dalam karya sastra yang kita buat. Hal ini tentu saja demi memperindah karya sastra yang sedang kita tulis.
Seperti dalam cerpen karya M. Shoim Anwar yang berjudul “Kutunggu di Jarwal’ yang menceritakan sebuah penantian. Penantian yang dilakukan seorang pria tua di tanah suci. Pria tua ini sedang menunggu kematiannya. Dia menginginkan kematian di tanah yang suci. Pria tua ini semasa muda, bekerja sebagai seorang penegak hukum, selalu berpindah-pindah tugas yang mengakibatkan dirinya selalu jauh dari istri dan anaknya.
Gaji resmi yang diterimanya tidak mencukupi kehidupan keluarganya. Namun, karena pekerjaannya, terkadang dia mendapatkan uang lebih maupun sesuatu dari seseorang yang membutuhkan bantuannya dalam menjalani suatu  perkara hukum.
... gaji resmi tentu saja tak mencukupi. Sementara setiap bulan istri dan lima anak meminta kiriman. Secara jujur, gajiku sebenarnya habis untuk beli rokok, sehari menghabiskan dua hingga tiga pak rokok kretek berharga mahal. Akulah sang perokok berat itu. tapi nyatanya, kami semua bisa hidup serba berkecukupan. Pangan, papan, sandang, kendaraan, hiburan, dan berbagai kebutuhan hidup dapat terpenuhi secara layak. Tamu-tamu yang datang selalu membawa kesenangan. Kau pasti bisa menebak, jalan apa yang aku tempuh dahulu.
Dari kutipan di atas, menjelaskan bahwa sewaktu bekerja dulu, sang pria ini selalu melakukan sesuatu yang diluar jalan yang sebenarnya. Dia tidak bisa bersikap jujur dengan pekerjaannya. Dia sudah berbuat hal yang sudah melanggar sumpahnya menjadi seorang penegak hukum.
Kami, tiga hakim dan seorang jaksa saat itu, yang biasanya dengan santai dan kelakar saling membantu menyusun skenario untuk disandiwarakan saat sidang karena pihak yang berperkara sudah menyatakan “minta tolong”, kini harus super hati-hati.
Dari kutipan di atas, sudah dengan jelas terbukti bahwa di dalam cerpen tersebut diceritakan bahwa sebuah lembaga hukum tidak menjalankan tugasnya dengan benar. Mereka melakukan tindakan kerjasama untuk membantu pihak yang berperkara, yang pasti karena embel-embel uang yang banyak.
Kehidupan kelam yang dialami pria itu akhirnya berakhir setelah dirinya pensiun. Dia tahu bahwa perbuatan di masa mudanya sangatlah kelam. Dia berusaha untuk menebus segala kesalahannya dengan cara datang ke tanah suci. Dia senantiasa berdoa meminta pengampunan sambil menunggu ajal menjemputnya.
Saat di Jarwal, pria ini bertemu dengan seorang TKI yang meminta bantuannya. TKI yang bernama Ina ini meminta dia untuk menikahkahnnya dengan seorang lelaki berkebangsaan Bangladesh. Ina mengatakan hanya dengan menikah, dirinya bisa terbebas dari kukungan majikannya yang selalu memintanya melakukan hubungan suami istri.
Namun, sang pria tidak mengindahkan permintaan Ina karena Ina sudah memiliki seorang suami di Indonensia. Berbagai cara sudah dilakukan Ina, namun si pria tetap kukuh dan tidak mau membantu. Hingga suatu saat, sang pria ingin pergi ke tempat suci, dia merasa kalau dia sudah mendekati ajal, dia ingin meninggal di tempat suci.
Kejiwaan yang dialami sang pria sudah sangat tidak rasional, bagaimana bisa kita mengetahui kalau ajal akan mendatangi kita. Dia berhalusinasi, dia membayangkan sosok lelaki dan perempuan yangberjalan dibelakangnya sebagai malaikat pencabut nyawa yang sedang menyamar sebagai orang yang dia kenal.
Terbukti dalam kutipan berikut:
Entah berapa lama aku terpuruk di ceruk sempit itu. selimut di badan terasa basah. Aku menggigil. Malaikat pengintai yang berwujud Ina tadi telah menghilang. Meski begitu, bayangannya masih menempel di ceruk-ceruk gedung. Aku mencoba bangkit, tak ingin mati di ceruk sempit dan pesing ini
Keinginannya untuk meninggal di tempat suci sangatlah besar dan membuat kejiwaannya sedikit terguncang. Sudah beberapa hari dia bermalam di tempat suci namun Tuhan masih belum juga mengambil nyawanya. Keingininan kembali ke bilik penginapan muncul dan akhirnya dia kembali ke bilik penginapan.
Di tengah erjalanan, dia melihat polisi yang sedang coretan di tanah untuk mengidentifikasi kejadian yang baru saja terjadi. Kejadian seseorang yang terjatuh dari tangga lantai atas dan menyebabkannya meninggal. Dia menganggap yang meninggal adalah Ina. Dia merasa bersalah kepada Ina karena tidak menolongnya.
Di dalam pikiran pria itu sudah tersetting bahwa dia datang ke Jarwal hanya untuk mati. Mati di tempat yang menurutnya suci. Meskipun kematian tidak tahu kapan datangnya, tapi dia tetap akan menunggunya.

Sabtu, 12 April 2014

ISTRIKU DAN KUE PASTEL



Karya sastra merupakan cipta atau fiksi yang bersifat imajinatif. Karya sastra juga merupakan tiruan dari peristiwa yang kita alami. Bentuk karya sastra bisa berupa prosa maupun puisi. Ketika kita mengalami suatu peristiwa yang menyenangkan, menyedihkan, bahkan sampai yang memalukan dan memilukan, kita bisa menciptakan suatu karya sastra dari peristiwa tersebut, namun kita juga harus menambahkannya dengan hal-hal yang dapat membuat karya sastra tersebut memiliki nilai estetika yang tinggi.
Dalam membuat sebuah karya sastra, kita pastinya membutuhkan suatu kekreatifan dan daya imajinasi yang tinggi. Kita bisa mengeksperikan apapun ide-ide yang ada di kepala kita. Tidak ada batasan sama sekali dalam menuliskan sebuah karya sastra. Kita bisa dengan bebas menggunakan berbagai bentuk gaya bahasa dalam menuangkan ide-ide kita, kita bisa bebas menggunakan bentuk-bentuk perumpamaan dalam karya sastra yang kita buat. Hal ini tentu saja demi memperindah karya sastra yang sedang kita tulis.
Seperti dalam cerpen karya M. Shoim Anwar yang berjudul Jawa, Cina, Madura Nggak Masalah. Yang Penting Rasanya... penulis bisa dengan bebasnya mengekspresikan dan menuangkan segala ide-ide yang ada di dalam otaknya. Penulis juga bisa menggabungkan peristiwa yang dialaminya dengan imajinasi-imajinasi yang ada dalam pikirannya dengan baik.
Sebenarnya, cerpen Jawa, Cina, Madura Nggak Masalah. Yang Penting Rasanya... menceritakan sebuah peristiwa yang dialami oleh sang suami saat dirinya membelikan alat-alat kecantikan yang diinginkan sang istri. Sang suami bertemu dengan seorang penjual jajanan kue pastel. Penjual kue pastel yang diketahui bernama Ko Han yang merupakan keturunan Cina ini memiliki suatu ciri khas dalam menjual kue pastelnya. Ko Han selalu mengucapkan kalimat “Jawa, Cina, Madura nggak masalah. Yang penting rasanya”.

 “Jawa, Cina, Madura nggak masalah. Yang penting rasanya...”
Kali ini jempolnya didekatkan ke muka saya sambil digerak-gerakkan.
“Dijamin puas, Om. Kulitnya kuning mulus, dan bersih. Montok lagi.”
Berdasarkan kutipan tersebut Ko Han sang penjual kue pastel itu secara tidak langsung menyamakan jajanan kue pastel yang dibuatnya seperti seorang perempuan. Mungkin ini memang sebuah trik dagang yang dilakukan oleh Ko Han dalam menarik para pembeli. Namun, bukankah terlalu berlebihan bila sebuah kue pastel yang harganya tidak seberapa itu disamakan dengan seorang perempuan. Kalimat khas Ko Han ini menjadi sangat menarik bagi sang suami dan dia ingin mencoba mempraktekkannya kepada sang istri apabila sudah berada di rumah. Sang suami ingin mengetahui bagaimana reaksi sang istri.
Kata-kata itu pula yang saya bisikkan kepada istri begitu tiba di rumah. Kontan dia membelalak hingga matanya kelihatan bundar. Kedua pipi saya dipegangnya dan digoncang-goncang.
“Jangan macam-macam. Kurang apa aku?”
“Nggak kurang.”
“Pakai membanding-bandingkan dengan Cina dan Madura segala.”
“Justru harus dibandingkan biar tahu kelebihannya.”
Dilihat dari kutipan di atas, jelas sang istri merasa tersinggung. Kalimat “Jawa, Cina, Madura nggak masalah. Yang penting rasanya” terlalu frontal. Bagi sang istri, kalimat itu mampu menyulut emosinya, karena sang istri tidak suka dibanding-bandingkan dengan etnis Cina, dan Madura. Apalagi kalimat “yang penting rasanya” terdengar kurang enak didengar, memangnya perempuan seperti makanan yang dicicipi bisa ketahuan bagaimana rasanya. Pantas saja sang istri merasa tersinggung dengan kalimat ini. Sang suami menyamakan dirinya dengan makanan.
Namun, dalam cerpen ini juga digambarkan bagaimana kedudukan seorang perempuan yang bisa memposisikan dirinya di atas lelaki. Sang istri bisa mengendalikan sang suami. Sang istri bisa membuat sang suami menuruti segala keinginannya. Jadi, kedudukan perempuan dalam cerpen ini berada di atas lelaki. Ini merupakan hal yang angat menarik, apalagi penulis merupakan seorang lelaki, dan dirinya bisa mengesampingkan egonya sebagai lelaki yang biasanya memposisikan dirinya di atas perempuan dengan menulis cerita yang menjadikan sosok perempuan berada di atasnya.
“Begituan malu. Kasep. Tega-teganya istri disuruh sendirian.”
“Kebanyakan perempuan melakukannya sendiri.”
“Tiap hari kok melayani melulu dan selalu di bawah suami. Sesekali aku di atas biar sedikit leluasa bergerak.”
“Sesekali aku juga perlu istirahat.”
“Ini pun demi kamu. Kalau kelihatan cantik, kamu juga yang senang.”
Dalam kutipan di atas, bisa dilihat dengan jelas bahwa sang istri berusaha memposisikan dirinya di atas sang suami. Sang istri menginginkan sang suami menuruti segala apa yang diinginkannya, dengan sifat cerewet dan keras kepalanya. Sang istri berani berdebat dengan sang suami yang notabennya adalah kepala keluarga yang seharusnya harus dihormatinya hanya karena menginginkan sesuatu.
Saya akhirnya melaksanakan juga permintaan istri. Dia tersenyum, mungkin sebagai pertanda kemenangan. Dia mengikuti saya. Saya segera ke kamar melepaskan baju dan celana. Setelah rampung, saya berganti pakaian yang lebih baik. Di atas meja sudah ada secarik kertas berisi daftar alat-alat kecantikan yang harus saya beli ...
Dalam kutipan di atas, malah menguatkan akan dominasi perempuan. Sang suami tidak bisa menolak apa yang dikehendaki sang istri. Sang suami dengan pasrah mengiyakan apa yang diinginkan istrinya. Mungkin karena rasa cinta sang suami yang mampu membutakan segalanya sehingga membuatnya tidak bisa menolak kesewenang-wenangan istrinya. Hal ini kan juga demi sang suami agar tidak merasa bosan dengan sang istri. Jadi, apa salahnya sang suami menuruti keinginan sang istri.
Di akhir cerita juga diceritakan sang istri melakukan kontak fisik yang mengakibatkan sang suami terjatuh karena dorongan sang istri. Hal inimakin memperkuat bagaimana kedudukan sang istri dalam keluarganya. Sang istri mampu mematahkan dominasi sang suami.
Spontan perempuan itu bangkit dan mendorong saya. Karena tidak siap, saya terdorong ke belakang dan jatuh ketika menabrak kursi.
“Jawa, Cina, Madura nggak masalah. Yang penting rasanya.” Kata istri saya menirukan sambil tertawa-tawa menuding saya terjengkang. Sialan!
Secara keseluruhan, cerpen ini sangat menarik. Namun, menyamakan perempuan dengan makanan sangatlah kurang enak didengar dan mampu menggores harga diri seorang perempuan. Untungnya di dalam cerpen menggambarkan seorang perempuan sebagai sosok yang mendominasi, perempuan diceritakan sebagai seorang yang sangat kuat dan berkuasa, membuat luka akibat goresan itu sedikit terobati, meskipun hanya sedikit.

Google Search